Rabu, 09 Januari 2013

Istriku, Mari Mencintai Kritik


Istriku, Mari Mencintai Kritik


eramuslim - Sayang. Aku masih penat. Keringat masih belum kering dari baju kerjaku. Peluh masih merona diwajahku. Tapi kamu? Kamu terus saja cerita tentang tetangga yang marah-marah padamu. Mengkritikmu habis-habisan soal ketidakhadiranmu yang tanpa berita pada acara rapat di RT kita kemarin. “Iya Bang, khan mestinya ia datang atau menelpon keq, sebelum membatalkan acara itu. Aku khan nggak enak badan jadi nggak datang dalam acara itu,” seperti bunyi KRL kamu terus bernyanyi, “nggak bisa dong, dia seenaknya saja membatalkan acara ini. Kalau memutuskan itu ya di rapat, mau diundur atau di cancel atau malah dibubarin sekalian.”
Seperti orang yang sedang buang air bekas cucian dari ember, kau tumpahkan seluruh kesahmu. Aku sampai tak sempat bernafas untuk duduk mencicipi kopi hangat yang kau bikinkan. “Bener, aku kesel banget. Untung aza aku masih bisa nahan emosi. Kalo nggak khan bisa jadi ribut kita.”
Cintaku, aku salut padamu. Kamu masih bisa menahan amarah. Padahal, gelombang itu meronta-ronta. Seakan membakar seluruh ruangan kognitif dan afeksimu. Kamu masih mending. Kalau aku, belum tentu semampu kamu menahan. “Terimakasih yah sayang. Kamu menjaga kata-kataku untuk tidak berkonfrontasi dengan orang. Bertengkar. Siapapun dia.” Kukatakan itu sembari menyeruput kopi yang cukup manis hanya dengan memandang wajahmu yang memang manis. Pun, bila kamu sedang marah.
Jangan pernah bertengkar. Karena orang alim mengatakan bertengkar itu jelek. Apa pun kondisinya. Bertengkar itu tetap buruk. Walau pun seandainya kita dalam posisi yang benar. Sebab, ketika terjadi pertengkaran, orang akan melihat ‘tengkar’-nya saja pada saat itu. Orang tidak mengerti. Dan, mungkin tidak akan pernah sampai pada pengertian bahwa kita, dalam posisi yang benar. Para tetangga akan mengatakan, “Eh, ibu anu tadi bertengkar dengan anu lho. Seru loh.” Yang lain menimpali, “Iya, aku juga dengar ibu A ribut dengan ibu B.” Percayalah padaku, mereka tidak dan tidak akan pernah berkesimpulan bahwa kita pada posisi yang benar. Mereka hanya tahu kita ribut. Itu saja.
Begitulah sayang,
Dalam kehidupan nyata, sangat banyak kejadian yang harus kita hadapi. Seberapa sukses kita menghadapinya adalah berbanding lurus seberapa kemampuan diri kita dan seberapa besar keyakinan kita kepada Allah. Aku nilai kamu lulus untuk satu hal. Kamu tidak terpancing untuk melawan dan berkonfrontasi dengan kritikan sang tetangga. Sabarlah, nanti orang pun tahu siapa yang benar.

Walau pun demikian, sayangku,
Salah satu problem yang pasti akan dihadapi oleh siapapun adalah menerima kritikan. Mendengar kata "kritik" saja kesan kita pasti sesuatu yang menghinakan, menyakitkan dan merendahkan diri kita. Bahkan kebanyakan orang menganggap pengritiknya adalah musuh. Mereka memberikan label ‘lawan’ bagi mereka yang memberikan analisa kritis. Ada segumpal argumentasi yang berlandaskan prasangka buruk (suhudzon) terhadap kritik yang diterima. Bahwa mereka ingin melakukan sesuatu yang tidak baik. Mereka mengincar jabatan kita. Mereka ingin kita tidak dihormati. Mereka ingin kita dimusuhi. Mereka hanya ingin berkuasa dengan cara merendahkan kita. Begitu seterusnya. Tapi sekali lagi. Itu hanya berpondasi prasangka buruk.

Dan,istriku sayang,
Menurut hematku, perasaan itu tak berguna. Buang saja jauh-jauh. Itu hanya energi negatif yang semakin membuat kita terpuruk. Semua perasaan itu hanya akan menutupi semua akal sehat kita. Sehingga, alih-alih akan mendapatkan solusi. Yang terjadi, malah memburuk. Bagaimana mungkin meraih solusi kreatif bila akal sehat sudah tertutup.

Kamu tahu akibat? jika sebuah kritik terlontar maka yang terjadi adalah permusuhan atau paling tidak perbedaan pendapat yang menegangkan. Walaupun memang itu tidak tidaklah salah. Setiap manusia membutuhkan rasa aman. Jika rasa itu terganggu maka muncullah perlawanan.
Tapi, mari berpikir tenang dan santai. Mari kita tanya diri kita keuntungan apa yang akan kita dapatkan dari permusuhan ini? Jawabannya jelas : Tidak ada!
nah, duhai istriku,
Bagi kita dan orang-orang yang sedang memperbaiki diri, kritikan justru bisa memantik diri untuk menjadi lebih baik. Kita tidak akan dan tidak akan pernah mau menghabiskan energinya untuk melampiaskan kekecewaan hatinya.
Malah kamu sudah menang selangkah. Kamu tetap sabar dan menyibukan diri dengan mencari hikmah dan segera diterapkan dalam diri agar terjadi percepatan perubahan yang sangat nyata.
Bagaimana jika kritikan itu merendahkan diri kita? Ah, sebenarnya kalau kita mau jujur, kita adalah lebih rendah dari isi kritikan itu. Kita merasa direndahkan oleh kritikan karena kita merasa tinggi dan mulia. Bukankah, Justru merasa mulialah yang akan menjerumuskan kita ke neraka. Bukankah merasa lebih hina akan lebih memompa semangat kita untuk terus menata hati dan diri.
Bagaimana jika kritikan itu disampaikan bukan pada saat yang tepat?
Sayang, bila pikiran kita seperti tadi, tidak akan pernah ada saat yang tepat untuk sebuah kritikan. Sekali lagi tidak ada.
Bagaimanapun, manusia lebih suka dipuji. Malah, bila ada yang minta dikritik, jarang-jarang ada yang mengatakannya secara terus terang. Kalaupun dikatakan, maka sangat halus menyampaikannya. Justru pada saat kita tidak siap, maka itulah kritikan yang asli. Bisa jadi kritikan ini lebih mirip dengan keadaan kita yang sebenarnya. Malah itu cermin seadanya tentang diri kita.
Bagaimana jika cara menyampaikannya dengan cara yang kurang baik? Kita tidak perlu protes. Bukankah mereka berbicara dengan mulut mereka sendiri? Bukankah idenya muncul dari pikiran mereka sendiri? Kita tidak berhak untuk mengatur orang lain untuk bertindak seperti yang kita inginkan. Biarkan saja mereka berbicara dan kita meraih hikmahnya.
Bagaimana jika yang mengritik adalah orang yang kita cintai? Justru tulah bukti cinta tulus mereka kepada kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari malapetaka dengan kritikan itu. Justru merekalah sahabat sejati kita. Mereka telah merelakan dirinya menjadi cermin bagi kita. Bukankah cermin adalah mahluk paling jujur yang menggambarkan obyek di dekatnya? Teman yang baik itu adalah teman yang mengatakan kondisi sebenarnya tentang diri kita.
Maka sayangku, inilah setangkup cinta untukmu bila ada yang mengkritikmu. Ini advis seorang teman melalui forwardnya. Jangan sekali-kali membantah kritikan itu, biarkan ia tertumpah. Jika kita membantahnya, maka ibarat aliran alir di sungai yang deras dan kita membendungnya. Maka yang terjadi adalah seperti bendungan jebol atau paling tidak, air meluap ke mana-mana. Dengarkan saja. Kalau bisa ajak ia ke tempatyang lebih nyantai. Kalau perlu cari tempat yang bisa minum atau bahkan mungkin saat makan. Sesuatu yang disampaikan setelah kenyang, biasanya diterima lebih santai. Lalu, Dengarkan sampai tuntas dan akui bahwa kritikan itu benar. Ucapkan terima kasih kepada yang menyampaikannya. Ini tidak begitu mudah, tapi justru di sinilah salah satu tolok ukur kualitas diri kita. Berikan maaf dan kirim do'a kebaikan bagi pengritik itu. Inilah tindakan yang terpuji. Memberikan maaf dan mendoakan adalah bagian dari amal sholeh kita, jika dilakukan dengan penuh keihlasan.
Istriku,
Mungkin tidak sesederhana dan semudah itu kita lakukan. Tapi apalah gunanya kita bergelut dengan kritikan sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melakukan amal sholeh lainnya? Lebih baik kita ubah energi marah kita menjadi energi perbaikan diri. Jawaban terbaik untuk kritikan adalah perbaikan diri. Tidak pernah merugi orang-orang yang selalu memperbaiki diri.
Dikutip dari draft naskah Sekuntum Cinta untuk Istriku karya Komarudin Ibnu Mikam
komaibnumikam@yahoo.com


Selasa, 01 Januari 2013

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda.
Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman.
Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.
Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat.
Rupanya, pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat.
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India.
Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan.
Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang ada.
Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah.
Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup.
Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka.
Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.

Sumber: Majalah Konsultasi Kita edisi Perdana, hal. 54-56, judul asli: Tentang Masuknya Islam ke Indonesia.