Minggu, 30 Desember 2012

MENGUNGKAP TABIR RAHASIA MAN JADDA WAJADA


MENGUNGKAP TABIR RAHASIA MAN JADDA WAJADA

Man jadda wajada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan mendapatakannya (Berhasil). Kata mutiara berbahasa Arab itu sangat akrab di telinga kita dan termuat dalam kitab Ta’lim Muta’alim karya Sekh Al-Jarnuji. Ta’lim Muta’alim adalah kitab yang menjelaskan tentang hubungan murid dan guru dalam menuntut ilmu, entah itu mengenai etika yang harus dilakukan para murid dalam belajar dan mencari ilmu atau tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh murid dalam menuntut ilmu. Kitab ini sering dipelajari di pesantren. Baik yang salafi maupun modern. Pertanyaannya kemudian adalah, masih relevan atau tidakkah kata mutiara tersebut dengan konteks kekinian? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita telisik lebih dalam kandungan isi dari kitab Ta’lim Muta’alim tersebut.
Pada pasal pertama, kitab ini menjelaskan tentang seorang murid yang tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan adanya 6 (enam) syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah; petama, memiliki kecerdasan. Kecerdasan ini tidak sebatas kecerdasan intelektual saja, tetapi masih memiliki pendukung yang lain yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Seorang pelajar yang memiliki kecerdasan-kecerdasan tersebut tidak akan mengalami kesulitan di dalam menerima pelajaran dari gurunya. Kecerdasan intelektual berfungsi untuk mencerna pelajaran yang lebih menekankan pada fungsi akal pikiran. Kecerdasan emosional berperan pada aspek pendekatan yang digunakan dalam belajar. Entah yang berupa musyawarah dalam memecahkan suatu persoalan atau kedekatan hubungan secara personal seorang murid kepada gurunya. Misalkan dalam bab lain disebutkan, jarak seorang murid dengan gurunya tak lebih dari semeter jauhnya. Kecerdasan yang terakhir adalah kecerdasan spiritual,yakni, sebuah kecerdasan yang lebih menitikberatkan pada hubungan murid kepada sang pencipta. Kecerdasan spiritual sering diasah lewat riyadhoh dan tirakat melalui puasa sunnah senin-kamis dan do’a panjang yang mereka munajatkan pada waktu qiyamul lail. Salah seorang Ustadz sewaktu di Ma’had dulu juga menganjurkan untuk selalu menunaikan dua hal ini, karena merupakan alat ampuh bagi orang yang sedang menuntut ilmu, demikian juga pengalaman yang pernah penulis alami sewaktu masih di bangku sekolah dulu.
Kedua, gemar terhadap ilmu pengetahuan, dalam artian adanya keinginan untuk mengetahui semua ilmu. Hal ini merupakan sifat alamiah manusia yang ingin mengetahui segala hal yang ada. Jika semangat ingin tahu muncul dalam setiap diri murid, maka secara tidak langsung memotivasi mereka untuk terus selalu gemar belajar, baik dengan, membaca, diskusi atau musyawarah bertukar pendapat untuk memecahkaan suatu persoalan.
Syarat yang ketiga, seorang murid harus sungguh-sungguh (jihad) dalam menuntut ilmu. Kesungguhan seorang murid dalam menuntut ilmu tampak terlihat dari pengaturan waktu yang mereka lalui dalam 24 jam. Seorang murid yang memiliki kesungguhan hati dalam menuntut ilmu seyogyanya tidak menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan pekerjaan yang tidak memiliki manfaat atau kurang bernilai untuk dirinya sendiri. Kesungguhan hati disini juga bermakna memiliki kesabaran atas segala ujian dan cobaan dari Allah SWT, baik yang berupa keadaan sakit atau dalam keadaan yang tidak mengenakkan lainnya yang dialami oleh si murid. Pepatah lawas mengatakan semakin tinggi suatu pohon, maka semakin kencang pula angin yang berhembus dan menginginkan ia jatuh.
Keempat, harus memiliki bekal. Bekal dalam konteks ini terbagi dalam dua hal, yakni bekal yang dalam arti fisik (harta benda) dan jelas dipandang mata. Bekal dalam bentuk fisik bagi murid yang sedang menuntut ilmu sangat dibutuhkan terutama dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Seorang murid juga membutuhkan tunjangan vitamin, protein dan mineral yang cukup dalam menuntut ilmu. Dan bekal yang tak kasat mata (bathiniah), yakni kesiapan akal dan mental dalam menerima semua pelajaran yang diajarkan oleh sang guru. Bekal disini juga bisa diartikan adanya biaya untuk menuntut ilmu atau sekolah. Sudah sejak zaman sahabat nabi dulu, sebuah pengetahuan (ilmu) tentang apapun itu sangat bernilai dan mahal harganya. Kita tentu ingat, Sayidina Ali Bin Abi Tholib -ia kunci ilmu dan Nabi Muahmmad SAW adalah kotanya.. Imam Ali dengan ikhlas menjadi hamba sahaya seseorang yang telah mengajarkannya ilmu pengetahuan, meskipun hanya satu kata.
Kelima, adanya guru pembimbing. Peran guru pembimbing memiliki peran vital dalam kesuksesan seorang murid. Guru yang bijak akan mengarahkan murid-muridnya kepada jalan yang benar yang sesuai dengan muridnya. Artinya, segala keinginan murid diakomodir oleh guru dan dibimbing agar sesuai dengan aturan dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Guru memiliki peran sebagai pengarah bakat dan skill bawaan sejak lahir yang dimiliki murid-muridnya.
Selain dari itu, tugas guru yang mulia adalah mengajar dan mendidik. Inilah yang sering dilupakan masyarakat sekarang. Di sekolah yang sering kita temui, guru hanya sebatas mengajarkan pelajaran-pelajaran sesuai dengan bidangnya masing-masing dan sering meninggalkan perannya sebagai pendidik yang justru sangat dibutuhkan oleh murid-muridnya. Disamping itu, kebiasaan guru yang baik adalah mendo’akan semua muridnya setiap ba’da shalat yang dia tunaikan. Karena do’a seorang guru memiliki peran yang cukup sentral untuk menghantarkan si murid meraih kesuksesan yang dicita-citakannya semenjak kecil.
Yang terakhir dari enam syarat tersebut adalah waktu yang lama (konsisten). Artinya, menuntut ilmu itu, ilmu apapun itu tak bisa dicapai dengan cara singkat semudah membalikkan telapak tangan. Orang mau pintar harus bahkan wajib untuk berproses yaknidengan jalan belajar yang membutuhkan waktu yang lama. Karena sebuah proses tak seperti ajang pencarian bakat yang serba instant dan cepat. Sering, kita jumpai di televisi ajang-ajang pencarian bakat yang secara instant menjadikan seseorang terkenal karena bakat yang dimilikinya. Namun, itu semua hanya sebatas kulit ari semata yang dipoles sedemikian rupa dan seapik mungkin, belum mencapai isinya yang menurut penulis lebih penting.
Akhirnya, setelah menilik syarat-syarat dalam menuntut ilmu di atas, sangat wajar bila banyak dari keluarga, teman, dan saudara kita yang berhasil dalam menuntut ilmu dan sukses di kemudian hari adalah mereka yang memenuhi dan menjalankan semua syarat tersebut. Yang artinya, apa yang ditulis oleh mushonif (pengarang kitab) dalam kitab kuning tersebut masih relevans dan memiliki kesesuaian dengan zaman modern.
Demikian yang dapat kami sampaikan, marilah kita selalu terus belajar hingga ajal menjemput. Karena orang yang terus mau belajar adalah orang yang mengerti ketidak-tahuan yang ada dalam dirinya, bukanlah orang yang enggan untuk belajar dan merasa pintar padahal pengetahuannya masih dangkal. Semoga bermanfaat. Amin. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar