Rabu, 09 Januari 2013

Istriku, Mari Mencintai Kritik


Istriku, Mari Mencintai Kritik


eramuslim - Sayang. Aku masih penat. Keringat masih belum kering dari baju kerjaku. Peluh masih merona diwajahku. Tapi kamu? Kamu terus saja cerita tentang tetangga yang marah-marah padamu. Mengkritikmu habis-habisan soal ketidakhadiranmu yang tanpa berita pada acara rapat di RT kita kemarin. “Iya Bang, khan mestinya ia datang atau menelpon keq, sebelum membatalkan acara itu. Aku khan nggak enak badan jadi nggak datang dalam acara itu,” seperti bunyi KRL kamu terus bernyanyi, “nggak bisa dong, dia seenaknya saja membatalkan acara ini. Kalau memutuskan itu ya di rapat, mau diundur atau di cancel atau malah dibubarin sekalian.”
Seperti orang yang sedang buang air bekas cucian dari ember, kau tumpahkan seluruh kesahmu. Aku sampai tak sempat bernafas untuk duduk mencicipi kopi hangat yang kau bikinkan. “Bener, aku kesel banget. Untung aza aku masih bisa nahan emosi. Kalo nggak khan bisa jadi ribut kita.”
Cintaku, aku salut padamu. Kamu masih bisa menahan amarah. Padahal, gelombang itu meronta-ronta. Seakan membakar seluruh ruangan kognitif dan afeksimu. Kamu masih mending. Kalau aku, belum tentu semampu kamu menahan. “Terimakasih yah sayang. Kamu menjaga kata-kataku untuk tidak berkonfrontasi dengan orang. Bertengkar. Siapapun dia.” Kukatakan itu sembari menyeruput kopi yang cukup manis hanya dengan memandang wajahmu yang memang manis. Pun, bila kamu sedang marah.
Jangan pernah bertengkar. Karena orang alim mengatakan bertengkar itu jelek. Apa pun kondisinya. Bertengkar itu tetap buruk. Walau pun seandainya kita dalam posisi yang benar. Sebab, ketika terjadi pertengkaran, orang akan melihat ‘tengkar’-nya saja pada saat itu. Orang tidak mengerti. Dan, mungkin tidak akan pernah sampai pada pengertian bahwa kita, dalam posisi yang benar. Para tetangga akan mengatakan, “Eh, ibu anu tadi bertengkar dengan anu lho. Seru loh.” Yang lain menimpali, “Iya, aku juga dengar ibu A ribut dengan ibu B.” Percayalah padaku, mereka tidak dan tidak akan pernah berkesimpulan bahwa kita pada posisi yang benar. Mereka hanya tahu kita ribut. Itu saja.
Begitulah sayang,
Dalam kehidupan nyata, sangat banyak kejadian yang harus kita hadapi. Seberapa sukses kita menghadapinya adalah berbanding lurus seberapa kemampuan diri kita dan seberapa besar keyakinan kita kepada Allah. Aku nilai kamu lulus untuk satu hal. Kamu tidak terpancing untuk melawan dan berkonfrontasi dengan kritikan sang tetangga. Sabarlah, nanti orang pun tahu siapa yang benar.

Walau pun demikian, sayangku,
Salah satu problem yang pasti akan dihadapi oleh siapapun adalah menerima kritikan. Mendengar kata "kritik" saja kesan kita pasti sesuatu yang menghinakan, menyakitkan dan merendahkan diri kita. Bahkan kebanyakan orang menganggap pengritiknya adalah musuh. Mereka memberikan label ‘lawan’ bagi mereka yang memberikan analisa kritis. Ada segumpal argumentasi yang berlandaskan prasangka buruk (suhudzon) terhadap kritik yang diterima. Bahwa mereka ingin melakukan sesuatu yang tidak baik. Mereka mengincar jabatan kita. Mereka ingin kita tidak dihormati. Mereka ingin kita dimusuhi. Mereka hanya ingin berkuasa dengan cara merendahkan kita. Begitu seterusnya. Tapi sekali lagi. Itu hanya berpondasi prasangka buruk.

Dan,istriku sayang,
Menurut hematku, perasaan itu tak berguna. Buang saja jauh-jauh. Itu hanya energi negatif yang semakin membuat kita terpuruk. Semua perasaan itu hanya akan menutupi semua akal sehat kita. Sehingga, alih-alih akan mendapatkan solusi. Yang terjadi, malah memburuk. Bagaimana mungkin meraih solusi kreatif bila akal sehat sudah tertutup.

Kamu tahu akibat? jika sebuah kritik terlontar maka yang terjadi adalah permusuhan atau paling tidak perbedaan pendapat yang menegangkan. Walaupun memang itu tidak tidaklah salah. Setiap manusia membutuhkan rasa aman. Jika rasa itu terganggu maka muncullah perlawanan.
Tapi, mari berpikir tenang dan santai. Mari kita tanya diri kita keuntungan apa yang akan kita dapatkan dari permusuhan ini? Jawabannya jelas : Tidak ada!
nah, duhai istriku,
Bagi kita dan orang-orang yang sedang memperbaiki diri, kritikan justru bisa memantik diri untuk menjadi lebih baik. Kita tidak akan dan tidak akan pernah mau menghabiskan energinya untuk melampiaskan kekecewaan hatinya.
Malah kamu sudah menang selangkah. Kamu tetap sabar dan menyibukan diri dengan mencari hikmah dan segera diterapkan dalam diri agar terjadi percepatan perubahan yang sangat nyata.
Bagaimana jika kritikan itu merendahkan diri kita? Ah, sebenarnya kalau kita mau jujur, kita adalah lebih rendah dari isi kritikan itu. Kita merasa direndahkan oleh kritikan karena kita merasa tinggi dan mulia. Bukankah, Justru merasa mulialah yang akan menjerumuskan kita ke neraka. Bukankah merasa lebih hina akan lebih memompa semangat kita untuk terus menata hati dan diri.
Bagaimana jika kritikan itu disampaikan bukan pada saat yang tepat?
Sayang, bila pikiran kita seperti tadi, tidak akan pernah ada saat yang tepat untuk sebuah kritikan. Sekali lagi tidak ada.
Bagaimanapun, manusia lebih suka dipuji. Malah, bila ada yang minta dikritik, jarang-jarang ada yang mengatakannya secara terus terang. Kalaupun dikatakan, maka sangat halus menyampaikannya. Justru pada saat kita tidak siap, maka itulah kritikan yang asli. Bisa jadi kritikan ini lebih mirip dengan keadaan kita yang sebenarnya. Malah itu cermin seadanya tentang diri kita.
Bagaimana jika cara menyampaikannya dengan cara yang kurang baik? Kita tidak perlu protes. Bukankah mereka berbicara dengan mulut mereka sendiri? Bukankah idenya muncul dari pikiran mereka sendiri? Kita tidak berhak untuk mengatur orang lain untuk bertindak seperti yang kita inginkan. Biarkan saja mereka berbicara dan kita meraih hikmahnya.
Bagaimana jika yang mengritik adalah orang yang kita cintai? Justru tulah bukti cinta tulus mereka kepada kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari malapetaka dengan kritikan itu. Justru merekalah sahabat sejati kita. Mereka telah merelakan dirinya menjadi cermin bagi kita. Bukankah cermin adalah mahluk paling jujur yang menggambarkan obyek di dekatnya? Teman yang baik itu adalah teman yang mengatakan kondisi sebenarnya tentang diri kita.
Maka sayangku, inilah setangkup cinta untukmu bila ada yang mengkritikmu. Ini advis seorang teman melalui forwardnya. Jangan sekali-kali membantah kritikan itu, biarkan ia tertumpah. Jika kita membantahnya, maka ibarat aliran alir di sungai yang deras dan kita membendungnya. Maka yang terjadi adalah seperti bendungan jebol atau paling tidak, air meluap ke mana-mana. Dengarkan saja. Kalau bisa ajak ia ke tempatyang lebih nyantai. Kalau perlu cari tempat yang bisa minum atau bahkan mungkin saat makan. Sesuatu yang disampaikan setelah kenyang, biasanya diterima lebih santai. Lalu, Dengarkan sampai tuntas dan akui bahwa kritikan itu benar. Ucapkan terima kasih kepada yang menyampaikannya. Ini tidak begitu mudah, tapi justru di sinilah salah satu tolok ukur kualitas diri kita. Berikan maaf dan kirim do'a kebaikan bagi pengritik itu. Inilah tindakan yang terpuji. Memberikan maaf dan mendoakan adalah bagian dari amal sholeh kita, jika dilakukan dengan penuh keihlasan.
Istriku,
Mungkin tidak sesederhana dan semudah itu kita lakukan. Tapi apalah gunanya kita bergelut dengan kritikan sehingga kita kehilangan kesempatan untuk melakukan amal sholeh lainnya? Lebih baik kita ubah energi marah kita menjadi energi perbaikan diri. Jawaban terbaik untuk kritikan adalah perbaikan diri. Tidak pernah merugi orang-orang yang selalu memperbaiki diri.
Dikutip dari draft naskah Sekuntum Cinta untuk Istriku karya Komarudin Ibnu Mikam
komaibnumikam@yahoo.com


Selasa, 01 Januari 2013

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda.
Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman.
Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.
Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat.
Rupanya, pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat.
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India.
Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan.
Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang ada.
Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah.
Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup.
Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka.
Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.

Sumber: Majalah Konsultasi Kita edisi Perdana, hal. 54-56, judul asli: Tentang Masuknya Islam ke Indonesia.

Minggu, 30 Desember 2012

MENGUNGKAP TABIR RAHASIA MAN JADDA WAJADA


MENGUNGKAP TABIR RAHASIA MAN JADDA WAJADA

Man jadda wajada. Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan mendapatakannya (Berhasil). Kata mutiara berbahasa Arab itu sangat akrab di telinga kita dan termuat dalam kitab Ta’lim Muta’alim karya Sekh Al-Jarnuji. Ta’lim Muta’alim adalah kitab yang menjelaskan tentang hubungan murid dan guru dalam menuntut ilmu, entah itu mengenai etika yang harus dilakukan para murid dalam belajar dan mencari ilmu atau tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh murid dalam menuntut ilmu. Kitab ini sering dipelajari di pesantren. Baik yang salafi maupun modern. Pertanyaannya kemudian adalah, masih relevan atau tidakkah kata mutiara tersebut dengan konteks kekinian? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita telisik lebih dalam kandungan isi dari kitab Ta’lim Muta’alim tersebut.
Pada pasal pertama, kitab ini menjelaskan tentang seorang murid yang tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan adanya 6 (enam) syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah; petama, memiliki kecerdasan. Kecerdasan ini tidak sebatas kecerdasan intelektual saja, tetapi masih memiliki pendukung yang lain yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Seorang pelajar yang memiliki kecerdasan-kecerdasan tersebut tidak akan mengalami kesulitan di dalam menerima pelajaran dari gurunya. Kecerdasan intelektual berfungsi untuk mencerna pelajaran yang lebih menekankan pada fungsi akal pikiran. Kecerdasan emosional berperan pada aspek pendekatan yang digunakan dalam belajar. Entah yang berupa musyawarah dalam memecahkan suatu persoalan atau kedekatan hubungan secara personal seorang murid kepada gurunya. Misalkan dalam bab lain disebutkan, jarak seorang murid dengan gurunya tak lebih dari semeter jauhnya. Kecerdasan yang terakhir adalah kecerdasan spiritual,yakni, sebuah kecerdasan yang lebih menitikberatkan pada hubungan murid kepada sang pencipta. Kecerdasan spiritual sering diasah lewat riyadhoh dan tirakat melalui puasa sunnah senin-kamis dan do’a panjang yang mereka munajatkan pada waktu qiyamul lail. Salah seorang Ustadz sewaktu di Ma’had dulu juga menganjurkan untuk selalu menunaikan dua hal ini, karena merupakan alat ampuh bagi orang yang sedang menuntut ilmu, demikian juga pengalaman yang pernah penulis alami sewaktu masih di bangku sekolah dulu.
Kedua, gemar terhadap ilmu pengetahuan, dalam artian adanya keinginan untuk mengetahui semua ilmu. Hal ini merupakan sifat alamiah manusia yang ingin mengetahui segala hal yang ada. Jika semangat ingin tahu muncul dalam setiap diri murid, maka secara tidak langsung memotivasi mereka untuk terus selalu gemar belajar, baik dengan, membaca, diskusi atau musyawarah bertukar pendapat untuk memecahkaan suatu persoalan.
Syarat yang ketiga, seorang murid harus sungguh-sungguh (jihad) dalam menuntut ilmu. Kesungguhan seorang murid dalam menuntut ilmu tampak terlihat dari pengaturan waktu yang mereka lalui dalam 24 jam. Seorang murid yang memiliki kesungguhan hati dalam menuntut ilmu seyogyanya tidak menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan pekerjaan yang tidak memiliki manfaat atau kurang bernilai untuk dirinya sendiri. Kesungguhan hati disini juga bermakna memiliki kesabaran atas segala ujian dan cobaan dari Allah SWT, baik yang berupa keadaan sakit atau dalam keadaan yang tidak mengenakkan lainnya yang dialami oleh si murid. Pepatah lawas mengatakan semakin tinggi suatu pohon, maka semakin kencang pula angin yang berhembus dan menginginkan ia jatuh.
Keempat, harus memiliki bekal. Bekal dalam konteks ini terbagi dalam dua hal, yakni bekal yang dalam arti fisik (harta benda) dan jelas dipandang mata. Bekal dalam bentuk fisik bagi murid yang sedang menuntut ilmu sangat dibutuhkan terutama dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Seorang murid juga membutuhkan tunjangan vitamin, protein dan mineral yang cukup dalam menuntut ilmu. Dan bekal yang tak kasat mata (bathiniah), yakni kesiapan akal dan mental dalam menerima semua pelajaran yang diajarkan oleh sang guru. Bekal disini juga bisa diartikan adanya biaya untuk menuntut ilmu atau sekolah. Sudah sejak zaman sahabat nabi dulu, sebuah pengetahuan (ilmu) tentang apapun itu sangat bernilai dan mahal harganya. Kita tentu ingat, Sayidina Ali Bin Abi Tholib -ia kunci ilmu dan Nabi Muahmmad SAW adalah kotanya.. Imam Ali dengan ikhlas menjadi hamba sahaya seseorang yang telah mengajarkannya ilmu pengetahuan, meskipun hanya satu kata.
Kelima, adanya guru pembimbing. Peran guru pembimbing memiliki peran vital dalam kesuksesan seorang murid. Guru yang bijak akan mengarahkan murid-muridnya kepada jalan yang benar yang sesuai dengan muridnya. Artinya, segala keinginan murid diakomodir oleh guru dan dibimbing agar sesuai dengan aturan dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Guru memiliki peran sebagai pengarah bakat dan skill bawaan sejak lahir yang dimiliki murid-muridnya.
Selain dari itu, tugas guru yang mulia adalah mengajar dan mendidik. Inilah yang sering dilupakan masyarakat sekarang. Di sekolah yang sering kita temui, guru hanya sebatas mengajarkan pelajaran-pelajaran sesuai dengan bidangnya masing-masing dan sering meninggalkan perannya sebagai pendidik yang justru sangat dibutuhkan oleh murid-muridnya. Disamping itu, kebiasaan guru yang baik adalah mendo’akan semua muridnya setiap ba’da shalat yang dia tunaikan. Karena do’a seorang guru memiliki peran yang cukup sentral untuk menghantarkan si murid meraih kesuksesan yang dicita-citakannya semenjak kecil.
Yang terakhir dari enam syarat tersebut adalah waktu yang lama (konsisten). Artinya, menuntut ilmu itu, ilmu apapun itu tak bisa dicapai dengan cara singkat semudah membalikkan telapak tangan. Orang mau pintar harus bahkan wajib untuk berproses yaknidengan jalan belajar yang membutuhkan waktu yang lama. Karena sebuah proses tak seperti ajang pencarian bakat yang serba instant dan cepat. Sering, kita jumpai di televisi ajang-ajang pencarian bakat yang secara instant menjadikan seseorang terkenal karena bakat yang dimilikinya. Namun, itu semua hanya sebatas kulit ari semata yang dipoles sedemikian rupa dan seapik mungkin, belum mencapai isinya yang menurut penulis lebih penting.
Akhirnya, setelah menilik syarat-syarat dalam menuntut ilmu di atas, sangat wajar bila banyak dari keluarga, teman, dan saudara kita yang berhasil dalam menuntut ilmu dan sukses di kemudian hari adalah mereka yang memenuhi dan menjalankan semua syarat tersebut. Yang artinya, apa yang ditulis oleh mushonif (pengarang kitab) dalam kitab kuning tersebut masih relevans dan memiliki kesesuaian dengan zaman modern.
Demikian yang dapat kami sampaikan, marilah kita selalu terus belajar hingga ajal menjemput. Karena orang yang terus mau belajar adalah orang yang mengerti ketidak-tahuan yang ada dalam dirinya, bukanlah orang yang enggan untuk belajar dan merasa pintar padahal pengetahuannya masih dangkal. Semoga bermanfaat. Amin. (*)

NASKAH DO’A LOMBA PHBS

NASKAH DO’A
DALAM RANGKA PELAKSANAAN  LOMBA PHBS DAN KB-KES
OLEH TIM PENILAI TINGKAT PROV.  SUMSEL  DI DS. TEBAT GABUS KEC. KISAM TINGGI




Ya Allah, Ya Tuhan kami..,
Dengan limpahan rahmat karunia-MU, pada hari yang penuh barokah dan inayah-MU. Kami hadir di tempat ini, Dalam rangka pelaksanaan lomba perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan kesehatan keluarga berencana (KB-Kes) sekaligus menyambut Tim penilai pelaksanaan lomba tingkat Prov. Sumatera Selatan di desa Tebat Gabus kec. Kisam Tinggi Kab. OKU Selatan ini. Oleh karena itu ya Allah, seraya senantiasa memuji keagungan-MU, izinkan kami menengadahkan tangan dan menundukkan kepala berharap pinta, memanjatkan Do’a hanya kepada-MU. Jadikanlah pertemuan kami ini, pertemuan yang membawa barokah, bermakna dan berhasilguna. Jangan jadikan pertemuan ini penuh dengan kemudharatan dan kesia-siaan serta jadikanlah pula perpisahan kami nanti senantiasa berada dalam naungan ridho dan kasih sayang-MU.
Ya Allah, yang maha perkasa,
Limpahkanlah kiranya kepada kami semua, kekuatan dan kesehatan lahir dan bathin, agar kami dapat berkarya menabur jasa, berbakti untuk bangsa sesuai dengan tugas dan profesi kami masing-masing.

Ya Allah,
Pada hari yang penuh barokah ini, ada kebahagiaan dan kebanggaan yang sangat besar bagi kami masyarakat kecamatan kisam Tinggi khususnya, dan Kabupaten OKU Selatan umumnya, karena pada hari ini Tim penilai pelaksanaan lomba PHBS Dan KB-Kes tingkat provinsi Sumatera Selatan telah berkenan berkunjung ke kecamatan kami ini. Oleh karena itu Ya Allah., kami memohon keharibaan-MU.  Berikanlah kekuatan dan kesehatan kepada seluruh Tim Penilai pelaksanaan lomba ini, agar mereka senantiasa dapat berperan aktif melaksanakan tugas-tugasnya dengan obyektif dan professional sehingga bisa menghasilkan Desa yang benar-benar masyarakatnya mempunyai  perilaku hidup bersih dan sehat serta melaksanakan program keluarga berencana. Dan bisa menang di tingkat provinsi, nasonal, lebih-lebih tingkat internasional.
Ya Allah.. Tuhan yang maha pengasih.,
Tunjukkan kepada kami bahwa yang benar itu, benar adanya, beri kami kekuatan dan kesanggupan untuk dapat melaksanakannya agar kami tidak salah dalam melangkah dan tidak keliru dalam berbuat.
Tunjukkan pula kepada kami bahwa yang salah itu salah adanya, beri pula kami kamampuan dan kesanggupan unuk dapat menghindarinya.
Ya Allah., jauhkanlah kami dari semua Balak dan bencana, silang sengketa serta permusuhan dan perpecahan diantara kami semua.
Ya Allah Ya Zal Jalaliwal Ikram.
Akhirnya kami serahkan kepadamu jua semua urusan, dan merupakan suatu keberuntungan yang amat besar bagi kami jika Engkau berkenan mengijabahi do’a kami. Ampunilah segala dosa kami, dosa orangtua kami, dosa para pemimpin kami, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia..